Setelah naik ke 11% di tahun 2022, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan resmi naik kembali ke ke angka 12% di tahun 2025 mendatang. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Kenaikan ini tertuang dalam amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), atas pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 29 Oktober 2021 lalu.

Pada masa perencanaan kenaikan PPN ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut kenaikan tarif PPN juga bertujuan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara OECD (The Organization for Economic Cooperation and Development). Pasalnya, saat ini tarif PPN Indonesia masih berada di bawah rata-rata tarif negara lain.  

Otoritas pajak yang diwakili Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti menyatakan, penyesuaian tarif PPN 12% akan diimplementasikan paling lambat 1 Januari 2025.  

Implikasi Kenaikan Tarif PPN 

Hubungan kenaikan PPN dengan kesejahteraan masyarakat memiliki implikasi positif dan negatif, tergantung dari mana sudut pandang kita memandangnya. Dari sudut pandang negatif, pengumuman kenaikan PPN tentu akan memancing reaksi beragam dari masyarakat, terlebih sebelumnya sudah ada kenaikan lain seperti penetapan pajak bahan bakar minyak (BBM) kendaraan motor non-listrik, hingga melambungnya harga bahan pokok seperti beras yang masih terjadi hingga awal Maret 2024 ini. Kenaikan PPN akan cukup berpengaruh terhadap willingness to pay (keinginan untuk membayar) masyarakat menengah. Semakin tinggi PPN, maka semakin tinggi juga harga BKP (Barang Kena Pajak)/JKP (Jasa Kena Pajak) yang diperjualbelikan.  

Dalam sudut pandang positif, sejatinya PPN merupakan salah satu kontributor penerimaan negara terbesar. Pada kenaikan sebelumnya, PPN 11% cukup berdampak positif terhadap penerimaan negara, dengan total penerimaan kas negara sebesar Rp80,08 triliun hingga akhir Maret 2023. Pada November 2023, kontribusi PPN tercatat sebesar 23,8%, angka ini tumbuh hingga 18%. Dalam hal ini, PPN berperan vital sebagai sumber pendanaan kebutuhan bangsa yang semakin meningkat setiap tahun. Oleh karena itu, kenaikan menjadi hal mendasar untuk menambah jumlah pendapatan negara, mengingat peningkatan pengeluaran pemerintah juga harus diikuti dengan jumlah pendapatan negara yang kian meningkat, sehingga rasio hutang negara tidak terbebani. Penerimaan negara berupa PPN juga akan didistribusikan kembali kepada masyarakat melalui berbagai bentuk pembangunan, hingga program subsidi dan bantuan sosial.  

Kewajiban Pemerintah Pra & Pasca Kenaikan PPN 

Pemerintah perlu mewaspadai beberapa dampak dari kenaikan PPN tahun depan. Dalam masa tunggu hingga kenaikan resmi, pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk bisa mendorong dunia usaha bersiap dalam membayar PPN 12% di tahun 2025 nanti. Para ekonom berharap, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dapat mencapai angka 5,5% hingga 6%.  

Di sejumlah negara, kenaikan tarif PPN dalam jangka pendek tidak jarang memicu inflasi jangka panjang. Karenanya, pemerintah perlu mengadakan redistribusi sebagai kebijakan penyeimbang yang menekan angka inflasi atas kenaikan PPN.

Salah seorang Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet memprediksi tentang kondisi perekonomian 2025. Menurutnya, dinamika awal tahun pergantian jabatan pemimpin Indonesia tersebut masih cukup menantang dan perlu sejumlah penyesuaian. Jika pemerintah berniat mengutip tarif pajak pada sektor tertentu, maka harus dipastikan sektor tersebut berhasil tumbuh hingga dua digit dan cenderung lebih baik dalam tiga tahun terakhir.  

Sedangkan pada sektor yang belum pulih, pemerintah dapat memberlakukan pajak yang lebih adil agar sektor tersebut memiliki waktu untuk mengejar pertumbuhan tanpa harus terbebani pajak yang besar dan kurang adil. Opsi range tarif pajak (PPN) yang direkomendasikan Yusuf berkisar antara 5% sampai 15%.